Friday, March 20, 2009

2009, International Year of Natural Fibres


Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan 2009 sebagai Tahun Serat Alam Internasional (International Year of Natural Fibres, IYNF). Namun tidak seperti sejumlah negara berkembang penghasil serat alam di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Indonesia tidak begitu bergelora menyambut resolusi yang dicetuskan 20 Desember 2006 tersebut. Kita masih terkungkung sindrom ketidakcukupan pangan, lalu urusan kapas, kenaf atau apa pun nama serat alam lainnya terletak di prioritas bawah. Pengembangan kapas disasarkan sekadar pencapaian 5% dari kebutuhan kapas nasional yang 500.000 ton itu.

Padahal PBB dan FAO menetapkan IYNF mengingat produksi aneka serat alam itu, di samping kegunaannya untuk konsumen dan industri, memberi penghasilan langsung yang signifikan bagi petani, buruh dan pelaku ekonomi mikro dan kecil lokal. Di negara negara berkembang dan kurang berkembang, perniagaan dan perindustrian serat alam menjamin penghasilan dan keamanan pangan bagi petani atau buruh miskin. Ia membantu mengentaskan kemiskinan dan pencapaian Millennium Development Goals. IYNF bertujuan menggugah kesadaran akan pentingnya serat alam, mempromosikan efisiensi dan keberlanjutannya, mengajak kemitraan efektif antar-pelaku usaha serat alam lokal dan internasional.

Serat alam dari binatang (animal fibers) dan pepohonan (vegetable fibres) merupakan bahan baku yang terbarukan. Sampah dan barang bekasnya pun bisa didaur-ulang. Maka dibandingkan dengan serat sintetis, penggunaan serat alam jelas membantu ekosistem yang lebih sehat. Dunia memproduksi sekitar 30 juta ton serat alam per tahun. Dari jumlah itu, kapas paling dominan – dengan 20 juta ton – disusul wol dan yute yang sekitar 2 juta—3 juta ton, serta lainnya: sisal, kenaf, abaka, rami, raffia, rosella. Sejak 1960-an, pamor serat alam meredup, dilangkahi serat sintetis.

Sebenarnya, mengacu pada semangat stakeholders serat alam dunia (Intergovernmental Group on Hard Fibres dan Intergovernmental Group on Jute, Kenaf and Allied Fibres) yang menggagas resolusi PBB itu, Dirjen Perkebunan Deptan, Achmad Mangga Barani, sudah berada di jalan yang lurus dan benar. Terakhir, Mei lalu, di Makassar, ia menggelar pertemuan dua hari dengan 17 kepala dinas perkebunan kabupaten dari 6 provinsi pengembangan kapas untuk memacu akselerasi pengembangan kapas ke pencapaian yang dikehendaki. Pertemuan itu juga diikuti pengusaha mitra petani, produsen benih, Asosiasi Petani Kapas Indonesia, pejabat dari Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, dan dari Balai Penelitian Tembakau dan Serat.

Mangga Barani hanya seorang Dirjen, sementara Indonesia yang punya tradisi kain dan ikat yang menakjubkan dan cukup punya areal yang tanah dan iklimnya cocok bagi kapas, tidak punya kebijakan nasional yang ambisius untuk berdikari di bidang sandang. Perum Kapas dengan enteng dilikuidasi 20 tahun lalu. PN Sandang juga sudah tidak kedengaran lagi. Lokasinya yang megah di Senayan telah menjadi superblok komersial. Di tengah political will yang kurang itu, maka mengembangkan kapas melalui Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (Kimbun) di enam provinsi kapas setidaknya merupakan langkah sangat berarti.

Melalui Kimbun semangat provincial yang positif bisa dikobarkan untuk kapas. Adalah lazim dan bagus memberikan kemuliaan kepada provinsi-provinsi sesuai keunggulan produknya yang mensejahterakan masyarakat lokal, negara, atau dunia. Daerah Champagne dan Bordeaux di Perancis bangga dengan keunggulan anggurnya dan nama kedua tempat itu dipatenkan untuk anggur keluaran situ. Provinsi Aklan di Filipina memperjuangkan namanya sebagai merek produk serat alam andalan mereka, pina. Kita punya lebih banyak dan lebih beragam produk yang bisa distandarkan kualitasnya, dipatenkan dan dijunjung namanya. Kita punya kain mandar, silungkang, lombok, batik pekalongan, cirebonan.

Untuk kapas, bolehlah itu dimulai dengan Sulawesi Selatan. Provinsi ini memang telah dikenal sebagai daerah favorit untuk penanaman kapas. Kebetulan, dari 17 kabupaten pengembangan kapas, enam di antaranya berada di sana (Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai). Maka, dari Sulsel, dengan kapas, kita menyambut Tahun Serat Alam Internasional.
(sumber: www.agrina-online.com dan www.dadangbegang.multiply.com)

Saturday, March 14, 2009

Pabrik Karung Goni Bangkrut

Akibat kekurangan bahan baku, enam pabrik karung goni di Indonesia gulung tikar. Pabrik karung goni yang masih bisa bertahan hingga sekarang hanyalah pabrik Pecangaan di Jepara dan pabrik Rosella Baru di Surabaya. Itu pun dengan kemampuan produksi hanya 35 persen dari kapasitas normal.

Demikian terungkap dalam temu wicara sosialisasi intensifikasi serat karung rakyat di Jepara, Kamis (10/8). Selain dihadiri petani rosela atau kenaf yang merupakan bahan baku karung goni, acara ini juga dihadiri Gubernur Jateng Mardiyanto, Bupati Jepara Soenarto, dan Direksi PT Perkebunan Nusantara X.

Dalam kondisi normal, pabrik karung Pecangaan membutuhkan areal tanaman rosela 2.500 - 3.000 hektar/tahun yang diperhitungkan mampu menghasilkan 3.500 ton serat rosela. Namun, karena sempitnya areal tanaman rosela, pasokan bahan baku hanya sekitar 1.200 ton/tahun sehingga setelah diolah hanya menghasilkan sekitar 990.000 lembar karung.

Menurut Bupati Jepara Soenarto, para petani enggan menanam rosela karena harganya fluktuatif dan tidak ada jaminan hasil tanaman mereka bisa ditampung pabrik. Akibatnya petani rosela di Kecamatan Welahan, Mayong, Bangsri, dan Kecamatan Keling yang sebelumnya merupakan sentra tanaman rosela, beralih menjadi perajin mebel ukir.

Sementara itu, menurut sejumlah petani dari Kabupaten Pati, Grobogan, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali, menanam rosela sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan menanam padi atau palawija, asalkan petani mendapat fasilitas kredit pupuk dan pestisida dari PTP Nusantara X.

Dengan pemberian fasilitas tersebut, diperkirakan produksi serat bisa mencapai 1,5 - 2 ton per hektar. Dengan harga jual Rp 2 juta/ton petani bisa mendapat penghasilan Rp 3 juta - Rp 4 juta/hektar setiap tahun.

Dalam temu wicara itu juga terungkap, untuk mengatasi kelangkaan bahan baku rosela, Direksi PTP Nusantara X sudah menjalin kerja sama dengan Perum Perhutani. Dalam kerja sama itu Perhutani bersedia menyediakan lahan khusus untuk tanaman rosela yang dikelola petani. (sup) Kompas: Sabtu, 12 Agustus 2000